Kamis, 06 Februari 2014

PADI

PADI




Ayo lihat sekelilingmu….

Lihatlah sejengkal kehidupan mengalir di tanah-tanah garapan dan sela-sela rumpun padi di samping rumahmu.

Walau tidak kau temui lagi jalanan desa yang rusak dan leleran ingus anak-anak kecil yang bermain-main di sawah.

Kalau kau sempat bertamu ke lubuk hati mereka para petani, coba tanyakan pernahkah mereka tertawa.

Pernahkah mereka bangga dengan tetes-tetes peluh yang terserap di antara buliran-buliran beras.

Atau pernahkah keong mas dan tikus sesekali membiarkan mereka menghela nafas yang hampir putus.


Bangun, nduk… biarkan lumpur selutut memelukmu.

Bangkit, cah ayu… sambut pedihnya goresan daun padi dengan senyummu.

Senyum yang mengembang diantara semilir alunan Dhandhanggula para penggarap sawah yg bakal hilang tidak terdengar lagi,..

Bangkitlah cah ayu,..Sebelum semua hilang dijual kepada orang asing

Dan ayo puaskan melihat sekelilingmu….


Jadilah saksi bagaimana hilangnya gotong-royong dan hasrat bersatu menanam dan memanen padi.

Jangan kau besok tanyakan pada Bapakmu ini kemana perginya empati dan rasa peduli sesama, yang seolah tak diizinkan lagi tinggal di negeri ini….

Masih mau duduk di sini, nduk?

Bapakmu ingin cerita….

Bagaimana mereka hampir menyerah.

Budaya yang dibangun atas dasar mengolah tanah (agri–culture) kini entah kenapa hampir punah.

Gotong royong dan sambatan dulu mengalir dalam darah, tapi kini terpecah oleh warna biru kuning hijau merah, semenjak pilihan lurah hingga pimpinan negara yang seharusnya membawa amanah.

Menentukan waktu tanam, memilih benih, dan berdamai dengan hama, dulu adalah keahlian kebanggaan, tapi sekarang dianggap orang kuno dan asing di rumah sendiri, yang diatur sana sini oleh  mereka yg  katanya pintar hasil belajar di luar negeri. 


Tapi entalah nduk,.. belajarlah pada apa yg ada di negerimu, tumpah darahmu.

Itulah kenapa Bapak beri nama Sri sebagai  nama depanmu,..  supaya kelak  mengingatkan akan Dewi Kesuburan pengayom para petani, yang kelak akan dilupakan oleh generasi seusiamu

Paham kau, cah ayu…?


Harapan petani kecil hanya pada pemilik kuasa negeri ini, tapi rasanya mereka tak mengerti.

Kalau mau menyubsidi, mbok sudah beli saja mereka punya gabah, lalu jualah berasnya dengan harga murah.

Daripada sekarang, pengadaan barang ujung-ujungnya kepentingan politik dan uang.

Coba, bagaimana petani bisa terbantu dan maju, kalau ketulusannya palsu begitu.

Bener nggak, cah ayu…?

Dan kalau tidak berubah juga, pantas mereka jual saja sawah untuk pabrik dan rumah-rumah. 

Dan entahlah, siapa kelak yang akan memberi makan negeri ini…


Nduk…nduk…cah ayu,

Lho, kok malah mainan blackberry…. lihatlah ada singkong dan gembili, yang bisa dicabut dari pematang sawah pinggir kali.

Ada daun kenikir dan bunga turi, dipetik di sepanjang pagar pekarangan (milik tetangga) kanan dan kiri.

Lho, kenapa lagi dengan blackberry… putus nyambung, ya?

Ya begitulah  kalo semua bisa rame2 pake bbm .

Tapi apakah gunung biru bermahkota mega, kawanan pipit di atas hamparan padi yang kuning merata, serta cinta orang-orang seperti bapak biyungmu ini, masih kalah juga dengan BBM dan playlist lagu, to nduk… atau lenggak-lenggok muda-mudi berambut warna warni  dengan nyanyian dan jenis kelamin yang ndak jelas ?


Tapi ya bisa apa bapak biyungmu ...ini, cuman manusia biasa sama dengan penghuni lain negeri ini.

Untuk apa Bapak ceritakan semua ini, toh menanam padi juga  tidak bisa.

Walau sedikit Bapak ceritakan ini agar tahu tentang budaya  leluhur kita.

Budaya yang berakar dari  menanam padi tapi biarlah bila lahan sudah tidak ada lagi,..yang bisa Bapak lakukan adalah membelajari mu bagaimana menanamkan kebaikan.

Karya: Papa Gue '-' (Noor Haris Rachmadi)

Puisi ini gue temuin di laptop papa gue yang kemaren tak uwek-uwek (?)
Dan ni puisi buatan papa gue, baru tau papa gue bisa bikin puisi -___-


yasudahlah...

0 komentar:

Posting Komentar